Selasa, 29 Maret 2011

Penderitaan dari Kecil Hingga Dewasa

Sepiring grilled norwegian salmon dengan saos kental dan sejumput sayuran segar nya , ditemani secangkir capucino hangat, duduk di halaman terbuka yg berada di tepi bukit dengan pemandangan lepas ke arah bawah, sambil memandang panorama kota Bandung yg bagaikan lembah besar bertepikan pegunungan bandung selatan,

rasanya serasa tak berada di Indonesia, saat berada di sebuah kafe di daerah pebukitan dago Bandung utara, menghadiri jamuan dari seorang teman. Suasana kafe penuh dg para pengunjung yg berdandan rapih, suasana interior nya pun
sungguh unik.

Lihat price list di buku menu, apa yg terhidang sore itu, rasanya cukup untuk makan seminggu, jaman kuliah dulu...
kalau tak dibayari teman, tak tega rasanya, mengeluarkan uang hanya untuk sekedar makan sore..

Di daerah Dago atas, ada banyak tempat seperti itu, dengan nama2 yg membuat kita tak berasa ada di Indonesia,
lihat mobil2 pengunjungnya pun, kebanyakan adalah mobil2 orang Jakarta yg seperti kebingungan menghabiskan uang nya

Saat keluar dari tempat tersebut, menyusuri jalanan sempit yg cukup padat sampailah saya ke terminal dago,
dimana mulai tercium lagi aroma nasi goreng pete dan teriakan kenek angkot,
barulah terasa berada di Indonesia lagi, memang kenikmatan hanya sekejap saja...

Di sore yg agak gerimis itu saya terus pulang lewat tengah kota, saat sampai di sekitar alun2 dimana jalan agak macet ,
karena banyak orang menyerbu Bandung saat liburan akhir tahun. Toko2 pun serasa ramai dengan lampu warna warni,
umbul2 discount sale yg lambaian nya bagaikan memanggil orang2 untuk membeli barang2 yg bisa jadi tak dibutuhkan nya.

Karena kemacetan mobil pun sempat terhenti sejenak, tiba2 tampak dari pinggir jalan saya lihat ada gerobak besar lewat, dengan seorang lelaki dewasa
dg topi kumal nya menarik gerobak, di belakang ada seorang wanita yg mendorong nya, tiba2 dari atas nya tampak menyembul anak2 kecil,
yg bagaikan riang gembira melihat keramaian tengah kota, nampaknya mereka satu keluarga. Ayahnya menarik di depan, ibunya mendorong
dari belakang dan 3 orang anak kecil naik di atas gerobak.

Saya lihat anak yg paling besar sekitar usia 10 tahun,begitu gembira meniup terompet yg tampak lusuh,
mungkin terompet bekas yg ditemukan di jalan. thhhrrooweet...thhrrroweettthh...suara nya pun sumbang, bisa jadi karena
terompet bekas itu sudah kebasahanan, tapi ia tetap gembira meniup nya., rasanya itulah suara terompet tahun baru yg sangat indah bagi saya...

di dinding gerobak itu, saya perhatikan ada tulisan yg walau agak kotor tapi masih terbaca
" aku berusaha untuk tersenyum , walau hati menangis", wuiihhh, kok bisa2 nya tunawisma seperti mereka buat tulisan spt itu,
apa mungkin dia dulunya penyair atau seniman ?

Nahdia gadis kecil saya yg turut memperhatikan, bertanya ; pak dimana mereka tidurnya ?
hmmm, mungkin di dalam gerobak itu, jawab saya,
terus kalau ayah dan ibunya tidur dimana ?
hmm, wah nggak tahu yah, rasanya saya kehabisan imajinasi untuk menjelaskan bagaimana mereka menempuh kehidupan sehari hari ?

saya memang berusaha mengajarkan pada anak2 untuk peduli pada orang2 yg tak beruntung seperti itu, karena rasa empati, kepedulian pada sesama memang harus ditanamkan sejak kecil. Dimana sebagian kita dibesarkan dalam asuhan pola kapitalisme yg mengajarkan individualisme, konsumerisme dan hedonisme ( asuhan acara TV yg diserap sejak kecil sampai dewasa ),  sehingga kita tak begitu peduli pada penderitaan sesama, dan cenderung individualis, EGP ? emang gue pikiran , kata seorang teman.

tett....tettt, suara klakson menyadarkan lamunan saya, ternyata kendaraan sudah mulai bergerak sedikit demi sedikit di tengah kemacetan ini. Mobil pun bergerak, tapi sayang gerobak itu sudah bergerak cepat, berbelok masuk sebuah jalan kecil, padalah saya ingin melihat nya lebih detail, mengambil foto atau sekedar ngobrol dg sang ayah yg menarik gerobak dan mengajar gadis kecil saya untuk sekedar memberi sedekah pada mereka.

Sambil berkendara saya terus melamun tentang keluarga gerobak tsb, harga sepiring ikan salmon dan capucino tadi rasanya cukup untuk makan mereka sekeluarga selama beberapa sehari, saya tertegun sampai menelan ludah, rasanya hendak melompat kembali ikan salmon dalam perut ini. Membayangkan betapa sebenarnya dengan menahan tidak makan ikan salmon dan capucino sekali saja yg tak membuat saya mati kelaparan, sebenarnya bisa membahagiakan sekeluarga orang miskin yg entah kapan makan nya...

saya teringat lagi dengan tulisan puitis nya, yg rasanya tak percaya ada pada sebuah gerobak tuna wisma, entah lah apa ia memang pernah kuliah filsafat dulunya atau sekedar seniman. Tapi saya jadi kagum, betapa di tengah penderitaan seperti itu, ia masih bisa berpikir jernih, berusaha untuk tersenyum, "positif thinking" bahasa ilmiah nya. Dimana biasanya pada kondisi hidup susah, orang biasa nya tambah mengeluh dan putus asa.

( kalau anda tak percaya, cobalah sekali2 berjalan di pusat kota Bandung, seputaran alun2, tegalega , alun2, sampai ke sekitar stasiun kereta api, dimana banyak terdapat gubuk2 liar gelandangan di tengah gemerlap kota, mungkin bisa ketemu lagi dg keluarga gerobak tsb )

Jadi teringat dg Victor Frankl, psikolog yahudi yg pernah ditawan Nazi jerman pada PD II, dimana keluarga nya habis terbunuh dan ia tinggal seorang diri di penjara tsb, tanpa harta, tubuh kurus, badan sakit, bahkan sempat tanpa sehelai pakaian pun. Saat kondisi yg sangat nestapa seperti itu, yg bagaikan titik nadir terendah dalam kehidupan seorang manusia, ia justru menemukan bahwa saat kita tak memiliki apapun, sebenarnya manusia masih memiliki hal yg paling berharga dalam hidup nya, eksistensi diri ,makna hidup dan pengharapan, makna keberadaan hidup seorang manusia dalam kehidupan ini.
Tak pernah sia sia Tuhan menciptakan manusia, dengan lika liku perjalanan hidup nya.
Dari sanalah akhirnya Victor Frankl mengembangkan teori psikologi eksistensi dan logotherapi dan menulis buku yg terkenal, "Man search for meaning" ,

Entahlah apakah tunawisma tersebut pernah membaca buku tsb atau tidak, tapi saya melihat analogi nya hampir sama dg kondisi Victor Frankl saat di kamp konsentrasi tsb. Sang keluarga tunawisma, tak memiliki apa2 kecuali apa yg ada pada gerobak tsb. Namun ia tetap berpikir positif berusaha untuk tersenyum, walau ia menyadari kondisi hidupnya sebenarnya sangat pedih. Sang ayah tetap menarik gerobak dg semangat, sang istri mendorong dari belakang tanpa lelah pula, anak2 nya tetap bisa riang bermain di atas gerobak itu, walau dengan terompet bekas sekalipun..

Guru kimia saya dulu pernah cerita, unsur karbon kalau mengalami tekanan yg sangat besar, bisa menghasilkan dua kondisi proses, hancur seperti arang atau malah kuat seperti intan ( intan dan arang prinsipnya berasal dari unsur yg sama, Carbon,  walau struktur kimianya berbeda )

Belajar dari kisah keluarga tuna wisma tersebut, kita bisa belajar banyak, bagaimana saat mengalami tekanan hidup yg berat, manusia bisa hancur seperti arang atau malah menjadi mulia seperti intan. Mudah2 an keluarga tunawisma tersebut yg berusaha untuk tersenyum di tengah kepedihan hati, sedang berusaha untuk menjadi bagaikan intan yg berharga.

Dari kejauhan terdengar sayup sayup adzan magrib dari menara mesjid Agung yang suaranya bersaing dengan suara hingar bingar musik dari pertokoan di sekitarnya, namun kebanyakan orang masih sibuk hilir mudik berbelanja. Suara adzan itu pun saya kira sampai pula pada keluarga tunawisma tadi, bukan nya tak mau mendengar dan pergi ke mesjid, tapi sampai ke dekat mesjid saja, mungkin ia telah di usir oleh satpam mesjid. Kalau mau sholat pun, ia merasa tak pantas karena tak ada lagi pakaian nya yg bersih.

Bisa jadi pakaian nya memang kotor, tapi jiwa nya bersih, namun belum sampai sajalah panggilan hidayah pada diri nya. Mungkin ia hanya 2 kali setahun mendatangi mesjid saat pembagian zakat fitrah dan pembagian daging qurban, setelah itu mereka bagaikan terlupakan lagi. Padahal nabi Muhammad mengajarkan kita untuk peduli pada orang2 miskin, menyantuni sesama manusia yg ditimpa nestapa.

Selepas adzan magrib, tetap saja orang hilir mudik berbelanja, begitu pula para pengemis,  tunawisma, orang cacat, pengemis yg banyak terdampar di tengah hiruk pikuk tengah kota, terbawa kembali pada kesibukan nya masing2,  gerobak tuna wisma itu pun terus melaju entah ke mana..

Entahlah mungkin para pengemis dan tunawisma yg pakaian kotor tersebut,tak merasa pantas pergi beribadah ke mesjid, namun ternyata banyak juga orang2 yg sehat dan berpakaian bersih sekalipun, namun tetap pula tak menyambut panggilan adzan.

Seandainya para pembelanja yang terbujuk rayuan discount akhir tahun mau sekali saja  menahan diri untuk tak membeli sehelai baju atau celana yg tak akan membuat mereka jadi kedinginan karenanya, Dan menyumbangkan uang senilai harga baju tersebut, sebenarnya sudah cukup untuk membeli pakaian sekeluarga tuna wisma tersebut.

Semoga kita menjadi manusia yg bisa memahami makna kehidupan ini, selalu bersyukur dan salah satu bentuk syukur orang yg beruntung ialah membantu mereka yang tak beruntung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar