
Berdasarkan kerangka analisis itu, para pengamat wilayah Asia Tenggara sering membanding-bandingkan perkembangan di dua negara:

"Dalam sepuluh tahun, ekonomi Vietnam mengadakan loncatan kuantum dari tahap sepeda ke sepeda motor," demikian observasi seorang wartawan AS. Bangsa yang berjumlah 82 juta ini seperti mesin yang berputar siang-malam, bekerja tanpa henti. Vietnam secara resmi adalah negara komunis, di mana partai komunis yang berkuasa. Tapi budayanya memang pragmatis. Ketika Uni Soviet ambruk pada tahun 1991 dan tetangga raksasa di sebelah Utara, Republik Rakyat Tiongkok, mempraktekkan prinsip ekonomi pasar, maka Vietnam juga menyesuaikan diri. Investasi asing disambut tidak hanya dengan ucapan manis dan janji muluk, tapi dengan tindakan nyata.
Contoh yang sering disebut-sebut akhir-akhir ini adalah kasus investasi perusahaan elektronik Intel Corp. Rencana orisinalnya, ia akan membangun pabrik chip dengan fasilitas uji coba di lokasi seluas 13.500 meter persegi dengan investasi 300 juta dolar AS. Namun, setelah terkesan oleh lingkungan investasi yang kondusif, Intel Corp mengumumkan akan melipatgandakan investasinya itu menjadi sekitar satu miliar dolar AS. Dan lokasinya di luar kota Ho Chi Minh diperluas menjadi 45 ribu meter persegi.
Wakil Presiden Intel Corp Brian Krzanich menerangkan, keputusan itu didasarkan, karena, "Vietnam memiliki penduduk yang dinamis, sistem pendidikan yang bertambah baik, tenaga kerja yang produktif dan pemerintahan yang memandang kedepan. Pada tahun 2009, ketika pabrik itu mulai operasional, sekitar 4 ribu buruh mendapatkan lapangan kerja. Sikap memandang ke depan dan tidak terjerat oleh kemegahan masa-lampau (Vietnam berhasil mengalahkan AS secara strategik) yang ditekankan oleh seorang redaktur dan penulis The New York Times, Roger Cohen, setelah baru-baru ini ia keliling Vietnam. "Budaya Vietnam berfokus ke depan. Kadang-kadang memang perlu kompromi, tapi kemudian maju terus, "tulisnya.

Apa yang dikemukakannya Selasa malam dihadapan tokoh-tokoh pemerintah pusat dan yang disampaikannya pada ceramah umum Rabu lalu (29/11) dengan tema "Mengembangkan daya saing dalam lingkungan Global" (terjemahan bahasa Indonesia), merupakan suatu daftar kelemahan-kelemahan yang ada pada diri Indonesia sekarang ini. Kalau disimpulkan, maka diagnosa yang dilakukan Profesor Michael Porter terhadap pasiennya Indonesia, sebagai berikut:
“Perekonomian Indonesia stagnan dan produktivitas rendah karena sejumlah faktor: sistem tenaga kerja tidak efisien, ber-bagai peraturan dan prosedur baik di pusat maupun di daerah yang sering saling bertentangan, infrastruktur yang tidak me- madai. Indonesia berusaha keras menarik investasi asing tapi lingkungan berbisnis justru seperti menolak investasi. Mentalitas yang terlalu memikirkan kepentingan sendiri dalam jangka pendek harus dirubah. Dunia sekarang sedang maju cepat, kalau Indonesia tidak segera melakukan pembenahan diri, maka akan ketinggalan.”
Demikian inti yang tersimpul dalam pesan-pesan Profesor Potter. Ia tidak pergunakan istilah progressive-resistant, tapi jelas, yang dimaksud betapa budaya Indonesia itu seperti menghambat kemajuan. Berbagai cerita aneh-aneh yang dapat kita tampung. Tentang sebuah perusahaan pertambangan internasional yang ingin mengadakan investasi sekitar 2 miliar dolar AS di luar Jawa di lokasi dengan endapan logam yang sudah terbuktikan. Berbagai prosedur dan peraturan diikuti dengan tekun. Namun di mana ada peraturan yang saling bertentangan, sulit menemukan pejabat yang berani mengambil keputusan. Akhirnya, setelah lebih setahun, proses investasinya ngambang terus. Cerita demikian dalam berbagai versi begitu sering kita tampung.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar